26 August 2011

Civil Society dan Demokrasi di Indonesia

Sejarah civil society pada awalnya merupakan konsep sekuler karena adanya penentangan ilmuwan pada kekuasaan gereja (yang absolut) di abad pertengahan. Kemudian berlanjut pada lahirnya sikap liberal yang mengakui hak-hak individu untuk mengartikulasikan otonomisasi di setiap pilihan-pilihan hidupnya. Akibat adanya sikap liberal ini maka ia membutuhkan ruang umum (public sphere) dan jaminan hukum (law) serta public discourse.

Karena itu, berbicara civil – dengan segala variannya – tentu meniscayakan adanya “lahan atau ruang” (sebagai basis kognitif) dan “nilai-nilai” (sebagai basis petunjuk dan harapan), serta tentu saja kesiapan rasional yang argumentatif.


Lahan civil society sendiri dapat berupa negara (law-governed state) atau kesepakatan-kesepakatan rasional masyarakat. Sementara nilai-nilai (values) dapat berasal dari agama (religi), suku (tribal), ras, etnos, ideologi, dan pengetahuan.

Dengan demikian, apabila berbicara civil society, kita harus menyepakati adanya “sikap mengambil jarak yang sama” terhadap berbagai nilai, untuk menyetujui adanya nilai bersama yang baru dan universal (common good), untuk kemudian dipatuhi. Di samping juga dijamin oleh undang-undang dengan ciri terbentuknya hukum secara adil dan sederajat secara menyeluruh.

Dengan demikian apabila kita berbicara civil society tidak mungkin berbicara hanya di tingkat nilai-nilai. Sebab, nilai-nilai pada hakikatnya serba hadir. Sehingga bisa datang dari mana dan dapat dipunyai oleh siapa saja. Tetapi, nilai-nilai itu tidak dapat direalisasikan sejauh tidak ada lahan dan jaminan. Karena itu lahan dan cara penegakan (jaminan/undang-undang yang dipatuhi) menjadi sama pentingnya. Apabila pembicaraan civil society hanya menyertakan salah satu dari dua prasyarat tersebut sesungguhnya timpang dan mem-by pass dari civil society yang sesungguhnya.

ViralGen Referral Shopping

ViralGen Referral Shopping